Jumat, 04 Februari 2011

Kalajengking Laut Hewan Paling Purba

Kalajengking Laut Hewan Paling Purba



Rabu, 29 Desember 2010
Baru-baru ini, para ilmuwan dari New York dan New Jersey, Amerika Serikat (AS), menemukan fakta baru bahwa predator purbakala tertua bukanlah dinosaurus seperti umum diketahui selama ini. Para ilmuwan itu menyatakan justru kalajengking laut (Eurypterids pterygotid)-lah yang bisa dikatakan sebagai hewan tertua yang pernah hidup di dunia. Hal itu didasarkan teori bahwa kalajengking laut merupakan spesies yang merajai lautan Paleozoikum 470 sampai 370 tahun yang lalu.

Dengan adanya temuan itu, teori yang menyatakan bahwa hewan predator purbakala tertua sekaligus terbesar di dunia adalah dinosaurus menjadi terpatahkan. Menurut para ahli, seperti dikutip dari laman Sciencedaily.com, sea scorpions atau kalajengking laut ternyata termasuk hewan purba yang terbesar dan antropoda paling menakutkan yang berevolusi di Planet Bumi. Kalajengking laut memiliki kaki- kaki dengan panjang 2,5 meter dan tubuh yang berkembang dengan baik.

Hewan yang dipersenjatai sepasang capit depan yang sarat dengan cakar berduri tajam itu tampak seperti Tyrannosaurus rex. Berdasarkan penelitian baru yang dipublikasikan dalam buletin masyarakat Buffalo of Natural Sciences volume 39, Richard Laub dari Buffalo Museum of Science dan rekan- rekannya, Victor Tollerton dari Research Associate, New York State Museum, dan Richard Berkof dari Stevens Institute of Technology, menyatakan bahwa kendala mekanik pada cakar membuat kalajengking laut mampu menembus cangkang eksternal tanpa risiko pecah.

Para ilmuwan itu juga menyatakan kalajengking terbilang menakjubkan. Spesies yang tinggal di laut sekitar 470 sampai 370 juta tahun yang lalu ini diyakini bukan predator rakus. Serangan kalajengking laut diketahui cukup praktis dan dengan aman dapat diterapkan oleh cakar Acutiramus dengan kekuatan 5 newton tanpa menyebabkan kerusakan. Kekuatan 8 hingga 17 newton diperlukan untuk menembus “tapal kuda” kepiting armor.

Tim yang dipimpin oleh Richard Laub juga mencatat bahwa tidak adanya “sendi siku” antara cakar dan tubuh cakar gerakan terbatas Acutiramus membuat hewan itu lebih efektif menangkap mangsa di dasar laut. Selain itu, kalajengking laut dapat melarikan diri dan menangkap ikan aktif atau binatang berenang lainnya. Berbekal duri bergerigi dan kedua cakarnya, kalajengking laut menggunakan “senjata” itu untuk menangkap dan merusak mangsa.

“Saya telah lama menduga adanya ‘senjata’ yang dimiliki kalajengking laut itu, dan itu merupakan interpretasi populer,” kata Roy Plotnick dari Departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan di University of Illinois, Chicago, AS. Meski tidak terlibat dalam penelitian mengenai kalajengking laut, Plotnik menyatakan temuan tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam mendukung interpretasi alternatif fungsi cakar.

Hal senada dikatakan Laub. Me nurutnya, penemuan yang diper oleh timnya itu merupakan sejarah baru peradaban purbakala sebelum artropoda terbesar diketahui. Kendati demikian, raja lautan, kalajengking laut, dinilai bukan preda tor yang menakutkan, melainkan predator dari eurypterids lain dan dari ikan lapis baja. “Hal itu membuka kemungkinan bahwa hewan itu bukan pemulung dan bisa jadi termasuk vegetarian,” ujar Laub.

Tidak Meneror

Predator yang “ramah” memang merupakan suatu kenyataan menarik. Pasalnya, hal itu merupakan kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi, kalajengking laut memiliki kemampuan membunuh luar biasa, tetapi di sisi lain hewan itu bukan termasuk spesies yang menebar teror di lautan. Padahal, jika dilihat dari silsilah dan habitatnya, kalajengking memiliki darah pembunuh dingin dan kejam. Kalajengking merupakan hewan invertebrata dengan delapan kaki. Scorpion termasuk kelas Arachnida.

Semua spesies kalajengking memiliki racun. Racun atau bisa kalajengking umum digambarkan sebagai neurotoksik dari alam. Penjelasannya, kalajeng king memiliki ketahanan suhu yang tinggi dan mampu mengonservasi air untuk jangka waktu lama. Oleh karena itu, tidak heran jika sebagian kalajengking hidup di wilayah yang panas dan gersang di dunia. Rata-rata habitat hewan itu memiliki topografi berlereng curam.

Wilayah hidup hewan itu memanjang dari timur ke barat. Hal itu berarti lereng selatan menerima radiasi matahari lebih banyak. Dengan demikian, meskipun pada umumnya geologi daerah itu identik dan banyak curah hujan, ada satu lereng yang dijuluki “African” mengalami kekeringan, padahal daerah lainnya merupakan hutan subur maquis. Para peneliti mengumpulkan hampir 200 spesimen dari enam spesies yang berbeda kalajengking di “Evolution Canyon”.

Dari empat spesies yang ditemukan di kedua lereng, dua spesimen hanya terlihat di wilayah yang lebih kering, yakni lereng “Afrika”. Perbedaan keragaman spesies antara wilayah utara dan selatan lereng yang menghadap “Evolusi Canyon” telah teramati pada kelompok bakteri, jamur, tumbuhan, dan hewan. Studi baru pada kalajengking menunjukkan bahwa tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor alam, seperti sinar matahari, temperatur, dan kekeringan, bisa bertindak sangat lokal untuk menghasilkan perubahan global dalam keanekaragaman hayati.

Meski demikian, keadaan alam tidak selalu berdampak stagnan pada setiap makhluk hidup. Salah satu buktinya, alam telah mengevolusi kalajengking laut untuk tidak bertindak “kejam” terhadap mangsanya. Hal itu menyebabkan kalajengking laut memiliki naluri pemburu yang pasif, tidak seperti predator-predator lainnya.
vin/L-2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar